Melihat Maluku Utara Lebih Dekat – Menjejakkan Kaki di Maitara

MAITARA. Pulau yang memiliki empat desa ini terletak di antara kokohnya Kota Tidore Kepulauan dan Ternate. Akses untuk ke Maitara bisa ditempuh dengan menggunakan Perahu Kayu dengan waktu tempuh sekitar 15 – 20 menit dari Pelabuhan Bastiong. Dari Ternate, Bastiong merupakan pintu utama untuk masuk ke Maitara .

DSC05122
Perjalanan kali ini akan membukakan matamu, terutama mata saya sendiri, jika dunia bukan hanya sebatas benar-salah, bukan sebatas pengkotak-kotakan yang diciptakan oleh manusia sendiri, bukan tentang seberapa kamu lama lahir di muka bumi.

DSC05259

Saya melihat beberapa hal yang tak akan bisa ditemui di jiwa-jiwa yang masih sarat dengan kesibukan untuk menyalahkan orang lain, atau pun sibuk dengan urusan orang lain yang bukan menjadi urusan mereka.

DSC05268
dok pribadi/ kingkin

Tak pernah terpikir dalam hidup ini, kami bisa menjejakkan di Pulau yang sering terlihat di lembar uang kertas Rp 1.000.00. Di sini, di perjalanan ini saya menemukan warna baru selain kesederhanaan, yakni memaknai hidup kita sendiri.
Mau seperti apa hidupmu?
Di sinilah, makna terpenting dalam perjalanan melihat ke dalam diri sendiri. Mendengarkan kata hati. Tidak biasanya, kali ini saya tidak menggunakan kendaraan. Dari rumah menuju pelabuhan, saya memilih jasa gojek.
“Mau ke mana Kin?” sapaan tersebut merupakan kesopanan bosa-basi seorang teman yang patut diapresiasi. Suara bassnya bergema saat saya sampai di depan ruang satpam.
“Main-main, ayo ikut. Saya mau nyeberang,” ia menolak ajakan tersebut. Teman saya ini adalah tipikal introvert yang menyenangkan sebenarnya.

DSC05174
Saya pun melanjutkan perjalanan. Di Bastiong saya sudah janjian dengan teman. Panas terik sekitar pukul 09.00 WIT tak menyurutkan langkah ini untuk menemukan hal baru.
Akomodasi
Pulau Maitara termasuk pulau kecil di gugusan Maluku Utara, masuk ke dalam wilayah administrasi Tidore Kepulauan. Para penyedia jasa perahu kayu menunggu penumpang penuh. Pagi itu, kami cukup beruntung, sebab, ada rombongan remaja yang juga bertolak ke Maitara. Tak perlu menunggu lama, kami bertolak dari Bastiong ke Pelabuhan Maitara.
Tiga orang, satu balita, dan satu kendaraan milik teman dibanderol Rp 50.000. Sesampainya di pelabuhan Maitara, beberapa orang terlihat telah menunggu penumpang kapal perahu untuk turun.
Raut para lelaki di tepi pelabuhan ini penuh harap akan datangnya rezeki. Tak terkecuali seorang lelaki dengan topi yang menutup rambut hitamnya.
“Ojek Mbak?” tawarnya ketika kami telah turun dari perahu kayu.
“Bawa kendaraan satu kami Pak, apa boleh meminjam kendaraan?”
Dengan merogoh kocek Rp 60.000 bapak paruh baya tersebut bersedia meminjamkan motornya untuk setengah hari. Dari pelabuhan kami menyisir pinggir Pulau Maitara. Pohon-pohon rindang, kicau burung gagak yang mengoak seakan menyambut kedatangan kami. Di pemberhentian pertama, kami menuju Pantai Maitara. Tampak jejak hasil KKN mahasiswa dari Universitas Sebelas Maret, Universitas Nuku, dan Universitas Muhammadiyah Maluku Utara terabadi di pantai ini dalam bentuk gapura.

DSC05302
Jalan belum beraspal sepenuhnya, kami melanjutkan perjalanan menyisir Pulau Maitara. Dan kami kembali melihat jernihnya lautan sepanjang perjalanan. Rumah-rumah penduduk tampak sederhana namun rapi. Kami membelok saat berada di ujung, masih berada di area utara Pulau. Kami membelokkan kendaraan ke pantai selanjutnya. Kami turun dari kendaraan menuju hall. Ada jembatan kayu menuju laut lepas. Angin semilir. Kerudung kami berkibar. Balita teman saya bersuka-cita. Ia bergandengan dengan ayahnya sibuk menayakan tentang hal baru yang dilihatnya.
“Itu apa?”
Laut membentang. Ternate terlihat jelas di depan kami. Di tepi pantai, terlihat rumput-rumput, ikan-ikan kecil, serta aneka ekosistem plankton. Belut yang cukup besar sempat menyita perhatian kami saat berada di area pantai utara Maitara.

DSC05125
Teman saya menjawab pertanyaan anaknya dengan sabar. Tak bisa bermain air di sini. Usai puas memandangi daratan seberang dari titik ini, kita memutuskan menuju utara lagi dengan berjalan kaki. Batu apung kami tapai, bakau, dan pohon minyak kayu putih kami lewati. Akhirnya kita bertemu bersama dengan rombongan remaja yang seperahu. Mereka asik mendirikan tenda. Mau camping satu malam, kata mereka.
Kami memutuskan istirahat dan duduk-duduk di dekat area mereka hendak mendirikan tenda. Tangan-tangan mereka cekatan memasang tenda, sayang sekali, angin yang cukup kencang membuat paku yang seharusnya telah kuat tertancap di atas batu apung. Mereka tertawa-tawa menikmati siang yang cukup terik ini.
“Kamu mau pakai sun block?” tawar saya kepada teman.
Teman saya menolaknya. Sembari melihat para remaja tersebut mendirikan tenda, kami duduk-duduk bersantai sembari merenung. Dalam perjalanan tadi, kami bertemu dengan warga yang sedang memotong kayu. Biasanya, digunakan untuk keperluan dapur mereka.
Usai bersantai, kami memutuskan kembali berkeliling di sisi tengah dan selatan Pulau. Rumah penduduk semakin padat di titik ini.

DSC05281DSC05345
Selanjutnya, di Maitara kami menghabiskan waktu bercengkrama sebentar dengan penduduk setempat dan menikmati es tung-tung yang dijual oleh lelaki paruh baya dengan gerobaknya asal Sragen, Jawa Tengah. Ia beberapa jam lalu menyeberang dengan perahu yang sama dengan kami semua.
Tak ada salahnya, kamu mencoba bertualang di tempat Pulau dengan jumlah penduduk paling sedikit di wilayah Tidore Kepulauan ini. Tak ada banyak orang yang tahu, jika penjual ikan asap di Maitara ternyata membeli ikan-ikan Cakalang yang diasap hasil tangkapan dari Bacan. Kemudian ibu tersebut menjual ikan itu kembali hingga Ternate.

Dari penduduk setempat,  kami disarankan menyeberang ke Tidore telebih dahulu sebelum ke Ternate.

“Kalau dari sini menunggu penuh lama,” jelasnya.

Kami menyeberang ke Tidore dan memutuskan melanjutkan perjalanan selanjutnya menggunakan Kapal Feri.

Ternate, 22 Februari 2020.

Leave a comment